Perang Diponegoro: Akar Sejarah yang Membentuk Indonesia Modern - Wawancara Mendalam Peter Carey

citra
06, Oktober, 2025, 06:16:22
Perang Diponegoro: Akar Sejarah yang Membentuk Indonesia Modern - Wawancara Mendalam Peter Carey

Citrafm.co.id Semoga kalian selalu dikelilingi kebahagiaan ya. Pada Berita kali Ini, Radio Citra akan menyampaikan informasi menarik dari News. Analisis Artikel Tentang " Perang Diponegoro Akar Sejarah yang Membentuk Indonesia Modern Wawancara Mendalam Peter Carey " jangan sampai terlewat.

Jakarta - Lebih dari separuh hidup Peter Carey dihabiskan untuk meneliti sosok Diponegoro.

Peter Carey merupakan sejarawan asal Inggris yang dikenal karena meneliti Pangeran Diponegoro dan Perang Jawa.

Mulanya Peter berniat meneliti sosok Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels (1808-1811) untuk menyelesaikan studi doktoralnya di Cornell University.

Kekaguman Peter atas Diponegoro muncul setelah melihat sketsa karya Mayor Francois de Stuers dalam tulisan sejarawan Belanda terkemuka H.J. de Graaf.

Sketsa menampilkan sesosok pangeran yang menunggang kuda.

Peter Carey dalam konferensi pers pengumuman proyek film terbaru Visinema berjudul "Perang Jawa" yang diselenggarakan di XXI Music Lounge Plaza Senayan, Senin (21//07/2025).

Kekaguman Peter atas Diponegoro muncul setelah melihat sketsa karya Mayor Francois de Stuers dalam tulisan sejarawan Belanda terkemuka H.J. de Graaf.

Sketsa menampilkan sesosok pangeran yang menunggang kuda.

Dia pun berhasil meraih gelar doktor pada 1975 dengan disertasi berjudul Pangeran Dipanagara and the Making of the Java War

Hal yang saya tangkap adalah ada korelasi dari kekalahan Perang Jawa dan sistem sosial politik yang akhirnya bisa ditarik sampai dengan sistem pemerintahan di Indonesia saat ini ya.

Dia lapor kepada pemerintah bahwa Bupati Lebak, Raden Adipati Karta Nataningrat yang punya keponakan sangat korup sekali dan pada akhirnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu Albertus Jacobus Duymaer van Twist lebih memihak ke Raden Adipati daripada Eduard Douwes Dekker dan Eduard Douwes Dekker didepak dan dikirim kembali ke Belanda.

Sebenarnya ada satu istilah dari sosiolog Jerman namanya Max Weber bahwa satu istilah, satu ciri khas dari satu negara daulat adalah Sentralisasi Pemerintahan.

Jadi ini satu sistem yang amat korup dimana pergerakan lebih fokus untuk mendobrak menggulingkan sistem feodal daripada Belanda sendiri dan kita bisa membaca itu di dalam Bumi Manusia dari Pramoedya yang bermuara kepada satu hero yaitu Tirto Adhi Soerjo salah satu pelopor wartawan di Hindia Belanda yang dimatikan oleh Belanda 1918.

Dan kita bisa lihat itu di Blora, di mana ada pergerakan Samin yang menolak untuk bayar pajak.

Jadi ada semacam karma yang dibuat di Magelang, karma yang sudah dijentikkan oleh anak bungsu dari Raja William II, Pangeran Hendrik, dan dia melayangkan surat dari Makassar kepada ayah dan bilang bahwa sebenarnya apa yang kita lakukan di Magelang adalah sesuatu yang sangat membawa untung bagi kita orang Belanda.

Spirit dari Islam dan spirit dari membangkang terhadap Belanda sebenarnya masih ada kaitan dan masih ada turun temurun dari zaman perang.

Tidak lagi ada tentara khusus untuk Keraton-Keraton Jogja atau Solo, tidak ada lagi kapasitas untuk mendirikan salah satu wilayah yang bebas dari pengaruh pemerintahan.

Sebenarnya 111 tahun sesudah perang, Belanda memegang kendali di dalam arti bahwa mereka punya akses kepada kohesif power, mereka punya KNIL, salah satu tentara lokal, kira-kira 35 atau 40 ribu orang dan juga mereka punya salah satu brigade mobil yang mereka pakai untuk menundukkan rakyat, dan itu berjalan sampai Jepang datang.

Dan kita bisa lihat itu di Blora, di mana ada pergerakan Samin yang menolak untuk bayar pajak.

Mereka menjadi semacam bunglonnya, ada separuh dari Jawa dan separuh dari Belanda dan itu salah satu sistem yang bertahan sampai akhir Hindia-Belanda dan kalau kita lihat pergerakan nasional lebih banyak fokus kepada orang feodalisme, dan kita masih bisa lihat feodialisme di jantung hati dari sistem pemerintahan Indonesia sekarang.

Jadi dari segi budaya, dari segi kepribadian, dari segi Islam, dari segi kepercayaan, dari segi kepedulian dengan Wong Cilik dan pergerakan untuk memperoleh salah satu masa depan yang lebih cerah, banyak yang bisa digalikan dari Perang Jawa sehingga menjadi tapal batas dari zaman modern Indonesia.

Dan sebenarnya waktu Pergerakan Nasional dimulai, Diponegoro menjadi pilihan untuk panutan pun untuk PKI, untuk PNI, untuk pendirian Syarikat Islam 1913.

Memang Diponegoro memahami bagaimana cara hidup dengan aroma dan bau dari budaya Jawa dan pada zaman pergerakan itu diejawantahkan ke dalam pergerakan untuk Indonesia.

Salah satu kebijakan dari Gunseikanbu adalah pemerintah militer Jepang, memberi salah satu kontrak kepada Muhammad Yamin, seorang penyair dan nasionalis dari Sumatera Barat untuk menulis satu biografi pertama dari sang pangeran Diponegoro di dalam Asia for the Asians series.

Penelitian ini sekaligus ditujukan untuk menyelesaikan disertasinya tentang Pangeran Diponegoro.

Mysticism Islam dari sarekat yang menggembleng Diponegoro waktu kecil dan itu menjadi salah satu benang merah adat kepercayaan dari Diponegoro.

Setelah Perang Diponegoro, Keraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta tampak lebih 'tunduk' terhadap kolonial Belanda dan akhirnya menciptakan lahirnya tanam paksa atau Cultuurstelsel.

Waktu di Indische Partij, tiga serangkai pendirinya dr Tjipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantara, dan Suwardi Soerjaningrat alias Douwes Dekker memilih Diponegoro sebagai panutan.

Jadi ada kebijakan dari pihak Jepang untuk mengorbitkan Diponegoro dan itu mencerminkan salah satu realitas bahwa Diponegoro adalah motor, inspirasi, dan namanya masih bergaung sampai zaman sekarang.

Dan yang aneh adalah bahwa semacam karma pada 8 Maret 1942, di mana Belanda ditaklukkan di Kalijati, Jawa Barat dan itu tanggal yang sama persis dengan Diponegoro masuk Magelang pada 8 Maret 1830 untuk dia dikhianati oleh Belanda.

Sebab saya akan diperlakukan persis seperti Diponegoro yang saya akan dikhianati.

Jalan tengah bermuara kepada kepercayaan dan sesudah Diponegoro tidak ada, tidak ada trust lagi antara Belanda dengan pribumi.

Belanda membuat historiografi yang sesat untuk meremehkan dan mengucilkan seorang Diponegoro yang berjuang untuk keadilan sosial.

Sejak 1970, Peter berangkat ke Indonesia untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah tentang sosok Diponegoro dan perang Jawa.

Diponegoro ditangkap di Magelang dan diasingkan termasuk semua orang pentolan yang ikut Diponegoro.

Mereka memang diberi privilege tapi semua karisma sebagai orang yang betul-betul mau membaur dengan Wong Cilik seperti seorang Diponegoro muda dan waktu perang sudah hilang.

Diponegoro saat itu menunjukkan diri sebagai pemimpin yang sangat bersahaja dan sangat peduli rakyat dan sangat berani dan punya kapasitas untuk menjadi politikus, diplomat dan juga panglima perang.

Silahkan baca artikel selengkapnya di bawah ini.