Tipu Muslihat di Balik Perang Diponegoro: Belanda Menaklukkan Jawa, Sejarah Kelam 200 Tahun Lalu

citra
06, Oktober, 2025, 06:16:22
Tipu Muslihat di Balik Perang Diponegoro: Belanda Menaklukkan Jawa, Sejarah Kelam 200 Tahun Lalu

Citrafm.co.id Assalamualaikum semoga kita selalu dalam kebaikan. Pada Berita kali Ini, Radio Citra akan menyampaikan informasi menarik dari News. Analisis Mendalam Mengenai " Tipu Muslihat di Balik Perang Diponegoro Belanda Menaklukkan Jawa Sejarah Kelam 200 Tahun Lalu" Temukan info penting dengan membaca sampai akhir.

Lukisan Raden Seleh tentang penangkapan Diponegoro, menggambarkan pangeran mengenakan sorban hijau dengan warna merah dan putih di pucuknya.

Guru Besar Bidang Sejarah Universitas Diponegoro Prof Dr Singgih Tri Sulistiyono bercerita, Belanda juga menerapkan aturan-aturan yang mengintervensi penunjukan putra mahkota dan pejabat keraton.

Mengapa saya tidak diperkenankan pulang (jenderal)? Apa yang harus saya lakukan di sini? Saya datang dengan bersahabat semata-mata untuk suatu kunjungan singkat, kata Diponegoro penuh keheranan seperti dalam buku Strategi Menjinakkan Diponegoro.

Dalam otobiografinya, Diponegoro mengemukakan bahwa dia sama sekali tidak merasa perlu mengenakan baju zirah seperti saat berperang.

Menyadari telah tertipu, Diponegoro kemudian menyatakan diri bertanggung jawab dan bersalah atas pecahnya peperangan.

Ketika memasuki Magelang, Diponegoro dan pasukannya mengenakan sorban dan jubah hitam dengan tombak terhunus.

Dan selama menjalankan puasa, tidak ada perang sebagaimana permintaan Diponegoro.

Pangeran Diponegoro datang didampingi Basah Mertonegoro Kaji Ngisa, Kaji Badaruddin, dan dua punakawan, Rata dan Bantengwareng serta dua anak Diponegoro yang kecil.

Ketika tiba di rumah karesidenan, Diponegoro disambut oleh Valck, Residen Kedu serta dipersilakan masuk ke ruang kerja De Kock.

Diponegoro mulai curiga dan gusar lantaran dilarang Jenderal De Kock pulang ke Metesih dan tetap tinggal bersamanya di rumah karesidenan.

Meski terkejut dengan akhir perundingan, Gondokusumo, panglima muda sekaligus pengiring Pangeran Diponegoro di Magelang, mengatakan Diponegoro selalu tahu pada akhirnya ia akan ditangkap.

Dua pekan sebelum penangkapan, 8 Maret 1830, Diponegoro memboyong 700 prajurit bergerak menuju Magelang.

Seluruh tubuhnya terlihat sangat letih, demikian digambarkan dalam buku Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) karya Peter Carey.

Dalam buku Strategi Menjinakkan Diponegoro, Stelsel Benteng 1827-1830 karya Saleh A.

Diponegoro merasa kedatangannya sesuai adat Jawa untuk melakukan silaturahmi di Hari Raya Idulfitri.

Dalam Babad, disebutkan Diponegoro meluapkan kemarahannya kepada De Kock.

Namun, Diponegoro tetap menolak untuk menyerah dan menyatakan lebih baik mati.

Memasuki hutan belantara, kondisi tubuh Diponegoro sudah lemah akibat perang bertahun-tahun.

Peter Carey, sejarawan asal Inggris yang menuliskan sejarah Diponegoro menyebut peristiwa itu dengan Bulan Puasa yang Tak Biasa.

Letnan Gubernur Jenderal de Kock membiarkan Diponegoro menikmati jaminan keamanan semu, sembari berharap sang pangeran menyerah tanpa syarat.

Berbekal informasi kondisi Diponegoro dari Cleerens itu, De Kock menyiapkan rencana licik menangkap sang pangeran.

Mereka duduk di bangku-bangku di luar ruangan, tempat Diponegoro tetap dapat dilihat oleh mereka.

semua itu darma melaksanakan perintah saya perang di seluruh tanah Jawa, tegas Diponegoro dalam buku itu.

Diponegoro ditangkap lalu diasingkan.

Panglima Perang Jawa, Pangeran Diponegoro ditangkap dua hari setelah Lebaran akibat rencana licik Belanda.

Para pengikut Diponegoro berada di ruang tengah.

Dua orang telah berkata Anda mengajak berdamai dengan jalan berunding, kata Diponegoro penuh emosi.

Namun, Pangeran Diponegoro tak lama berdiam di Benteng Amsterdam.

Ketika itu, Belanda memutuskan Kesultanan Yogyakarta dihapuskan dan diperintah langsung oleh Gubernur Jenderal.

Sebagai contoh, tanah milik Kesultanan Yogyakarta di Jabarangkah secara penuh menjadi milik pemerintah Hindia Belanda.

Bahkan, ulama-ulama Jawa diawasi ketat agar tidak menggerakkan para santri dan masyarakat pedesaan, memberikan legitimasi agama pada perlawanan atau menyebarkan semangat jihad melawan penjajahan Belanda.

Berakhirnya perang justru menjadi pukulan berat bagi kesultanan Yogyakarta dan rakyat.

Batas wilayah Kesultanan Yogyakarta diatur kembali dan semua biaya perang ditanggung oleh sultan.

Aturan-aturan bahwa Patih atau Perdana Menteri ini juga harus atas izin atau persetujuan oleh pemerintah kolonial demikian juga calon putra mahkota ini juga harus ada persetujuan oleh pemerintah kolonial Belanda, ujar Singgih.

Saat berbincang dengan Liputan6, Peter Carey mengisahkan Perang Jawa meruntuhkan hirarki sosial tradisional dan membuka jalan bagi dominasi kolonial Belanda yang lebih kuat.

Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengajukan beberapa syarat yang berat kepada Sultan Sepuh.

Kalau diperintah oleh kaum feodal sendiri, meskipun tidak dibayar itu dengan sukarela mereka mau melakukan itu, karena dianggap sebagai sebuah pengabdian yang diperintah oleh raja itu sebuah kehormatan yang tidak perlu minta upah, ungkap Singgih.

Perang Jawa meruntuhkan hirarki sosial tradisional dan membuka jalan bagi dominasi kolonial Belanda yang lebih kuat.

Rumah singgahnya itu terletak di kawasan tanjung, di tepi Kali Progo, yang oleh masyarakat disebut daerah Metesih.

Djamhari dikisahkan, pukul 10.00, panglima Perang Jawa (1825-1830) itu ditemani dua putranya meninggalkan penginapan menuju rumah residen.

Pengangkatan sultan ini, kata Peter, merupakan siasat licik Belanda untuk melanggengkan kekuasaan, memudahkan mengatur rakyat dan mencegah pemberontakan meluas.

Rumah dinas yang ditinggali Letnan Gubernur Jenderal de Kock itu menjadi tempat perundingan.

Senjata mereka dilucuti oleh pengawal karesidenan.

Pihak kolonial memutuskan memindahkannya ke Benteng Fort Rotterdam di Makassar.

Aneksasi atau pencaplokan tanah-tanah milik bangsawan Jawa juga belangsung masif.

Jadi areal-areal masif yang masih restrain (terbatasi) untuk Keraton-Keraton Selatan seperti Banyumas, bagelen, sebagian areal dari Jawa Timur, semua wilayah yang di luar Negara Agung dicaplok di dalam tangan dari kolonial, ujar Peter.

Tujuannya untuk menghapuskan sumber peperangan yaitu konflik internal di antara bangsawan.

Sultan yang ditunjuk Belanda harus memberikan jaminan untuk menanggung biaya perang.

Selain itu, Belanda berupaya memperluas pengaruh dengan memperalat raja dan sultan demi mengendalikan rakyat.

Belanda menyadari, karakter rakyat Jawa yang paternalistik dalam hirarki sosial mereka terhadap raja bisa memuluskan kepentingan mereka.

Di sana, dia tinggal di sebuah rumah besar, berdinding bambu, dan beratapkan daun kelapa.

Seorang pejabat militer Belanda, Cleerens menggambarkan kondisi tubuh sang pangeran.

Di sanalah mereka menjalankan ibadah puasa.

Dia memakai pakaian santai, seakan-akan hendak jalan-jalan.

Namun dengan cara ini martabatnya di mata rakyat akan tetap terjaga, tidak berkurang,” demikian kesaksiannya seperti dicatat De Stuers.

Tempat pengasingan pertamanya adalah Manado, Sulawesi Utara.

Bukan melalui pertempuran yang menentukan.

Tanah dirampas untuk mengurangi biaya perang yang dibebankan kepada sultan.

Liputan6.com, Jakarta 28 Maret 1830, gencatan senjata dalam Perang Jawa yang berlangsung selama Ramadan berakhir tragis.

Akibatnya ia harus diam di hutan-hutan daerah Bagelen Barat.

Lebih dari siapapun, (ia) membutuhkan istirahat.

Para pengikutnya juga sama, tidak ada seorang pun yang memakai tanda pangkat atau jabatan.

Tata duduk diatur secara protokoler.

Tidak ada maksud untuk bertengkar, minta benar sendiri akhirnya anda berbuat begini.

“Sang pangeran akan malu bila ia mundur dari tuntutannya.

Transformasi terjadi pada aspek politik, ekonomi, sosial, dan psikologi.

Perubahan paling kentara yang dilakukan Belanda adalah melemahkan kekuasaan raja dan bupati Jawa menjadi terbatas.

Jadi Keraton seperti museum, tidak lagi ada daya, kata Peter dalam wawancara dengan Liputan6.com, Jumat (26/9/2025).

Sultan Sepuh harus rela berbagi kekuasaan dengan cicitnya, Hamangkubuwono V.

Hal ini lantaran perang dengan stelsel benteng ini melahirkan kerugian materi dan korban jiwa yang besar.

Jadi ada di priyayi menjadi semacam anak buah dari Hindia Belanda, mereka tidak berdaya sendiri, mereka kehilangan karisma, kisah Peter.

Penderitaan dan ketakutan meluas di masyarakat.

Semasa perang, ekonomi rakyat hampir benar-benar tidak berjalan.

Kesengsaraan rakyat akibat perang sangat luar biasa.

Ratusan orang dari Kesultanan Yogyakarta mencari tempat hidup baru di Malang akibat krisis pangan.

Bangsawan dan rakyat dilarang melakukan perlawanan atau sekali pun melontarkan kritik.

Akibat ruang kritik dibatasi, rakyat menyampaikan perlawanan lewat sajak, pantun atau gelaran seni.

Banyak pantun yang dipakai atau banyak istilah-istilah yang bisa menghindar dari kritik blak-blakan langsung di depan muka, ujar Peter.

Copyright © 2025 Liputan6.com KLY KapanLagi Youniverse All Right Reserved.

Silahkan baca artikel selengkapnya di bawah ini.